Ku rasa hati ini butuh ketenangan
Rasanya ingin aku sendiri, berdiri di tepi pantai menikmati hembusan angin sambil mendengarkan lagu lagu favoritku. Alangkah tenang dan tentramnya hati ini.
Aku tak tau kapan aku bisa sampai di sana, di tepi pantai indah dan sejuknya angin, aku ingin ke sana, sendiri.
Setiap aku termenung mendengarkan lagu lagu sendu, aku berpikir seolah aku berada di pantai itu, bersenandung lagu cinta. Aku membayangkan aku duduk di depan sebuah kaca besar disebuah villa indah, seolah tak ada batasan antara aku dan indahnya alam. Sekali lagi aku hanya berkhayal, dan semoga suatu saat nanti aku akan ada di sana.
Senin, 02 November 2015
Jumat, 01 Mei 2015
6 Maret 2015
6 Maret 2015
Kampus malam ini agak sepi, karena ini adalah malam
sabtu. Sepulangnya dari kampus, aku dan kakak ku pergi ke Mega Legenda untuk
makan bakso, tapi bakso pak de sudah tutup. Jadi, kami memutuskan untuk membeli
dua potong kebab yang tempatnya berdekatan dengan tempak bakso tadi. Saat aku
sedang menunggu pesanan, aku duduk sambil melihat layar besar di depan yang
sedang memutar OVJ.
Di meja depan gerobak sate, seorang ibu tengah menemani
anakknya yang tengah menyantap sepiring sate dengan lontong dan kuah kacangnya.
Aku melirik – lirik sekeliling dan sesekali melihat kebab yang tengah dibuat. Dari
balik mobil, seorang anak laki – laki berpakaian jersei biru dengan membawa
setumpuk koran di tangannya tiba – tiba menyapaku.
”Kak, koran !” katanya dengan wajah memelas. Aku bilang
”tidak” ya, aku memang tidak berniat sama sekali untuk membeli koran yang
dibawanya.
”Belilah, Kak. Dua ribu aja.” katanya lagi. Aku
menatapnya dengan seksama, sekali lagi ia menawarkan koran tersebut kepadaku.
Aku pun menyerah untuk menolaknya.
”Berapa tadi ?” Kataku menanyakan kembali harga koran
tersebut.
”Dua ribu, kak” jawabnya singkat.
”Ada kembaliannya gak ?” Tanyaku lagi sambil
memperlihatkan selember uang sepuluh ribu.
”Ada” katanya singkat sambil merogoh tas kecilnya yang
sepertinya berisi beberapa uang kecil hasil penjualan koran sebelumnya. Iseng-iseng
aku bertanya kepadanya ”Kamu sekolah ?” tentu saja aku bertanya dengan wajah
ramah.
”Sekolah, kelas dua SMP” katanya sambil mengeluarkan dua
lembar uang dua ribu rupiah. ”Kenapa dua ribu ?” tanyaku dalam hati, ”Kan
harganya dua ribu.” ternyata dia masih mengeluarkan selembar lagi, dan lagi.
”Ini kak, makasi ya, kak.” katanya dengan tersenyum. Aku
balik tersenyum, lalu aku terpikir, usianya sama dengan adikku, sama – sama
duduk di bangku kelas dua SMP.
Setelah ia belalu, ia berhenti di depan layar besar
sambil menonton OVJ. Aku melihatnya lagi, muncul pertanyaan dalam benakku.
”Bagaimana anak sekecil itu bisa berjualan koran di malam yang sudah agak larut
ini ? bukankah seharusnya dia berada di dalam kamarnya mengerjakan pr ataupun
beristirahat untuk sekolah besok ?”
Benar, itulah yang seharusnya dia lakukan di malam hari
begini. Tapi itulah, nasib orang beda – beda, liat saja dia yang masih kecil
begitu harus mencari uang mungkin untuk menafkahi keluarga ataupun sekedar
menambah uang jajan. Sementara adikku, tertidur manis di kamarnya –
beristirahat untuk sekolah besok, nasib dan jalan hidup setiap orang memang
berbeda.
Aku sedikit prihatin dengan keadaan yang seperti itu,
sungguh sangat tidak adil bagi mereka orang –rang yang serba kekurangan,
bekerja keras untuk membiayai hidup jika dibandingkan dengan orang – orang
berada, pejabat, kaum – kaum elit yang bahkan berfoya – foya untuk
kesenangannya sendiri dengan uang rakyat yang miskin tadi, sangat miris.
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan nasib – nasib
rakyatnya yang memiliki pendapatan menengah ke bawah. Terlebih untuk anak –anak
yang seharusnya dapat merasakan pendidikan yang layak. Bukankah fakir miskin
dan rakyat terlantar merupakan tanggung jawab dan tanggungan negara ? kemana
para petinggi – petinggi negara ? Saya rasa tidak hanya saya yang menyaksikan
kehidupan yang seperti itu, setia orang bisa melihatnya, di simpang-simpang
pemberhentian lampu merah hampir selalu ada anak – anak oper koran maupun
pengamen dan tukang minta – minta.
New Story, New Man
Semalam gurauanmu, hari ini tatapanmu, besok apa lagi ?
Tak pernah aku menaruh harapan setinggi ini, hingga
khayalku sampai ke batas akhir, pernikahan. Mungkin karena aku sudah mulai
dewasa, aku telah mendengar banyak kisah hidup tentang cinta, kesuksesan dan
kebahagiaan.
Harapanku kau juga rasakan apa yang aku rasakan, agar
berbalas. Harapku kau mengerti
isyarat kebisuanku.
Aku sadar in semua masih terlalu cepat, masih di awal,
tapi ntahlah harapku akan perasaan yang menggangguku begitu terasa nyata.
28 Oktober 2014
* * *
Saat pagi menyapa, aku masih dipenuhi harap tentangmu,
aku lalui hari dengan menahan rasa. Aku masih melihatmu layaknya dirimu,
tersenyum, menyapa dan tatapan mata itu, perlahan aku menyadari, apa aku
melampaui batas ?
Benar, kekhawatiranku ternyata benar.
Kini aku tau bahwa kau telah mencintai yang lain, aku
memaklumi hal itu, dan itulah yang seharusnya memang aku pahami sejak dulu.
Lalu aku tersenyum, bodoh !! setelah aku pahami lagi, setelah aku mencoba untuk
tenang, aku dapati rasa sesak di dada. Ternyata rasanya semakin sesak, mataku
mulai berkaca-kaca, ”Benarkah rasa ini ? mengapa sakit begini ? dia bukan
siapa-siapa !!” kataku dalam hati merutuk pada diriku sendiri.
Yang tak pernah berhenti aku tanyakan dalam hati, kenapa
bisa sejauh ini ? kenapa bisa ada rasa ? padahal sikapnya hanya biasa-biasa
saja. Tuhan !! bantu aku.
Aku telah mencoba untuk tidak mencintai dia sejak awal,
sebab aku telah memprediksi kemungkinan aku akan suka padanya. Dan itu
berhasil, hingga jum’at lalu ia tersenyum penuh arti padaku. Dan semua pertahanan
yang aku ciptakan seolah runtuh dan tak berarti. Aku bingung, apa aku yang terlalu
bodoh atau terlalu lugu ? hingga dengan mudahnya menaruh hati dan harapan pada
sesuatu yang tak pasti.
Sekarang apa ? yang kudapati hanya sakit
”Ini terlalu cepat, masih di awal” kataku.
”aku bisa memperbaiki ini semua” lagi
Akan kucoba untuk memperbaiki ini semua, aku bertekad
esok hari aku harus mampu memungut reruntuhan pertahananku dan membangunnya
kembali, aku harus bisa.
Aku tak ingin tersakiti sekali lagi oleh hal bodoh
seperti ini lagi, Tuhan, Bantu aku !
29 Oktober 2014
Langganan:
Postingan (Atom)