6 Maret 2015
Kampus malam ini agak sepi, karena ini adalah malam
sabtu. Sepulangnya dari kampus, aku dan kakak ku pergi ke Mega Legenda untuk
makan bakso, tapi bakso pak de sudah tutup. Jadi, kami memutuskan untuk membeli
dua potong kebab yang tempatnya berdekatan dengan tempak bakso tadi. Saat aku
sedang menunggu pesanan, aku duduk sambil melihat layar besar di depan yang
sedang memutar OVJ.
Di meja depan gerobak sate, seorang ibu tengah menemani
anakknya yang tengah menyantap sepiring sate dengan lontong dan kuah kacangnya.
Aku melirik – lirik sekeliling dan sesekali melihat kebab yang tengah dibuat. Dari
balik mobil, seorang anak laki – laki berpakaian jersei biru dengan membawa
setumpuk koran di tangannya tiba – tiba menyapaku.
”Kak, koran !” katanya dengan wajah memelas. Aku bilang
”tidak” ya, aku memang tidak berniat sama sekali untuk membeli koran yang
dibawanya.
”Belilah, Kak. Dua ribu aja.” katanya lagi. Aku
menatapnya dengan seksama, sekali lagi ia menawarkan koran tersebut kepadaku.
Aku pun menyerah untuk menolaknya.
”Berapa tadi ?” Kataku menanyakan kembali harga koran
tersebut.
”Dua ribu, kak” jawabnya singkat.
”Ada kembaliannya gak ?” Tanyaku lagi sambil
memperlihatkan selember uang sepuluh ribu.
”Ada” katanya singkat sambil merogoh tas kecilnya yang
sepertinya berisi beberapa uang kecil hasil penjualan koran sebelumnya. Iseng-iseng
aku bertanya kepadanya ”Kamu sekolah ?” tentu saja aku bertanya dengan wajah
ramah.
”Sekolah, kelas dua SMP” katanya sambil mengeluarkan dua
lembar uang dua ribu rupiah. ”Kenapa dua ribu ?” tanyaku dalam hati, ”Kan
harganya dua ribu.” ternyata dia masih mengeluarkan selembar lagi, dan lagi.
”Ini kak, makasi ya, kak.” katanya dengan tersenyum. Aku
balik tersenyum, lalu aku terpikir, usianya sama dengan adikku, sama – sama
duduk di bangku kelas dua SMP.
Setelah ia belalu, ia berhenti di depan layar besar
sambil menonton OVJ. Aku melihatnya lagi, muncul pertanyaan dalam benakku.
”Bagaimana anak sekecil itu bisa berjualan koran di malam yang sudah agak larut
ini ? bukankah seharusnya dia berada di dalam kamarnya mengerjakan pr ataupun
beristirahat untuk sekolah besok ?”
Benar, itulah yang seharusnya dia lakukan di malam hari
begini. Tapi itulah, nasib orang beda – beda, liat saja dia yang masih kecil
begitu harus mencari uang mungkin untuk menafkahi keluarga ataupun sekedar
menambah uang jajan. Sementara adikku, tertidur manis di kamarnya –
beristirahat untuk sekolah besok, nasib dan jalan hidup setiap orang memang
berbeda.
Aku sedikit prihatin dengan keadaan yang seperti itu,
sungguh sangat tidak adil bagi mereka orang –rang yang serba kekurangan,
bekerja keras untuk membiayai hidup jika dibandingkan dengan orang – orang
berada, pejabat, kaum – kaum elit yang bahkan berfoya – foya untuk
kesenangannya sendiri dengan uang rakyat yang miskin tadi, sangat miris.
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan nasib – nasib
rakyatnya yang memiliki pendapatan menengah ke bawah. Terlebih untuk anak –anak
yang seharusnya dapat merasakan pendidikan yang layak. Bukankah fakir miskin
dan rakyat terlantar merupakan tanggung jawab dan tanggungan negara ? kemana
para petinggi – petinggi negara ? Saya rasa tidak hanya saya yang menyaksikan
kehidupan yang seperti itu, setia orang bisa melihatnya, di simpang-simpang
pemberhentian lampu merah hampir selalu ada anak – anak oper koran maupun
pengamen dan tukang minta – minta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar